Entri Populer

Senin, 11 April 2011

Anakku, Selamat Mengikuti Ujian Nasional


Anakku, Selamat Mengikuti Ujian Nasional

Oleh: Maryono, M.Pd


Sebentar lagi anak-anakku tersayang, siswa SD, SLTP, dan SLTA mengikuti ujian nasional yang disebut UN. Beberapa bulan terakhir ini luar biasa kesibukan mereka dalam menghadapi UN itu. Pertama, kegiatan les atau pelajaran tambahan. Sudah lama kita menyaksikan hiruk pikuk anak-anak mengikuti kegiatan itu. Kedua, kegiatan ujia coba (tryout), yakni suatu kegiatan yang menyerupai ujian. Suatu sekolah melaksanakan beberapa kali uji coba UN. Baik les maupun tryout adalah kegiatan resmi yang diadakan oleh sekolah. Seakan sudah menjadi kewajiban bagi setiap sekolah untuk mengagendakan dua kegiatan itu bagi anak muridnya yang sekarang duduk di kelas akhir. Selain sekolah, lembaga bimbingan belajar juga tidak kalah gencar. Mereka menawarkan berbagai kiat untuk menuju sukses ujian nasional itu. Ada kelas reguler, ada pula kelas intensif. Berbagai bentuk pelayanan pun disediakan untuk menampung kegelisahan anak-anak – termasuk orang tuanya.

Sekolah dan lembaga bimbingan belajar seolah berpacu menawarkan resep-resep jitu melibas UN. Pacuan itu masuk akal karena nilai UN adalah penentu. Penentu bagi kelulusan anak dari jenjang sekolahnya sekarang. Penentu bagi anak dalam memilih jenjang sekolah yang lebih tinggi. Penentu bagi guru mata pelajaran dalam melaksanakan pekerjaannya. Penentu bagi kepala sekolah dalam memimpin sekolahnya. Penentu bagi Dinas Pendidikan dalam mengelola jajarannya. Penentu bagi daerah (Kabupaten/Kota atau Provinsi) dalam menduduki prestise bidang pendidikan di antara daerah-daerah lainnya, baik regional maupun nasional. Pendek kata, UN adalah segala-galanya. Semua orang akan merujuk nilai UN bila bicara soal pendidikan.

Apabila nilai UN jatuh, lenyaplah masa depan. Nilai UN di bawah standar minimum, anak itu tidak lulus sekolah. Guru mata pelajarannya dicap sebagai guru yang tidak becus mengajar. Kepala sekolahnya juga dikategorikan sebagai kepala sekolah yang tidak sukses. Pimpinan Dinas, Pimpinan Daerah semua terkena getahnya. Luar biasa akibat yang bisa ditimbulkan oleh UN ini.

UN sungguh ampuh. Ampuh untuk melahirkan sanjungan bila nilai UN memuaskan. UN juga ampuh untuk menuai makian bila nilai UN jatuh. Melihat betapa ampuhnya UN itu, tidak heran bila kita pernah mendengar cerita-cerita miring tentang cara-cara mendapatkan nilai UN yang bagus. Kemiringannya bisa datang dari orang tua anak yang berbisik sampai berkolusi dengan pihak yang menentukan angka UN. Sekolah pun ada yang pernah diberitakan ikut bermiring-miring untuk mendongkrak nilai UN murid-muridnya. Memang, semua itu melanggar peraturan dan barang siapa terbukti atas pelanggarannya akan mendapatkan hukuman. Namun, kita tidak boleh abai. Pelanggaran itu terjadi karena daya pikat UN yang berlebihan, sebagaimana digambarkan tadi.

Ada apa dengan UN?
Ujian nasional, yang selama ini dilaksanakan secara tertulis, adalah sebagian cara untuk mengukur keberhasilan anak. Para ahli berpendapat bahwa kompetensi yang dikembangkan dalam diri siswa selama dia belajar ada tiga ranah, yaitu ranah kognitif (pengetahuan), ranah psikomotor (keterampilan), dan ranah afektif (sikap). Tidak gampang mengukur keberhasilan anak mengembangkan ketiga kompetensi dalam ranah-ranah itu. Oleh karena itu, dikembangkanlah berbagai cara untuk menjaring data dan informasi untuk mengetahui ketercapaian ketiga ranah tersebut. Penilaian tidak hanya dilakukan secara tertulis, tetapi juga dilakukan dengan perbuatan, hasil kerja, penampilan, laporan, demonstrasi, dan lain-lain. Penilaian seperti itu tidak bisa sekali tembak, tetapi harus dilakukan terus-menerus, kapan saja dan di mana saja. Para ahli memberi nama penilaian seperti itu dengan nama penilaian yang sebenarnya (authentic assessment)

Para pendukung UN beralasan bahwa melalui ujian tulis pun dapat dibuat soal yang mencakup ketiga ranah itu. Alasan-alasan itu sebagian bisa diterima dan sebagian lainnya diragukan. Hal yang diragukan, misalnya, dengan ujian tulis yang jumlah soalnya terbatas, berapa persen kompetensi yang dapat diukur dari seluruh kompetensi yang dikuasai. Benarkah semua keterampilan bisa diukur dengan ujian tulis, benarkah semua sikap bisa diukur dengan ujian tulis. Belum lagi bentuk ujian tulis yang berupa pilihan ganda yang juga melahirkan kontroversi.

Apabila kita menyadari bahwa UN hanyalah sebagian cara untuk mengukur keberhasilan anak, seharusnyalah kita tidak menggunakan hasil UN itu untuk menentukan segala-galanya. Hasil UN dipakai untuk menentukan kelulusan anak, keberhasilan guru, sekolah dan seterusnya. Apakah kita masih ingin terus berkubang dalam kesalahan berpikir seperti itu?

Para pengambil kebijakan boleh saja melakukan pengukuran, baik kepada semua siswa maupun kepada sebagian siswa sebagai sampel. Namun, harus disadari bahwa hasil pengukuran itu bukan untuk menentukan nasib anak, bukan untuk menentukan kelulusan anak. Bukan juga untuk menghakimi pelaku-pelaku pendidikan, seperti guru dan kepala sekolah. Hasil pengukuran itu bisa dipakai untuk melakukan perbaikan-perbaikan, pembenahan-pembenahan. Pengukuran model ini tentu tidak dilakukan kepada siswa menjelang tamat seperti halnya UN selama ini.

Kita harus sadar bahwa dengan menggunakan hasil UN sebagai alat penentu segala-galanya telah menimbulkan akibat yang menyerempet melemahnya etos kerja dan menurunnya moralitas. Etos kerja guru menjadi lemah karena dia mengajar bukan mempersiapkan anak menghadapi masalah kehidupan di masa depan, tetapi sekedar meraih nilai UN yang bagus. Moralitas menurun karena ternyata UN telah melahirkan sekap mental jalan pintas bagi sebagian orang, seperti cerita miring di atas. Sikap mental ini bagaikan penyakit menular, apabila tidak segera diberantas, sikap itu akan menjangkiti lebih banyak orang.

Bagaimana sebaiknya?
Pro dan kontra terhadap UN tidak bisa diakhiri dengan membahas kelebihan dan kekurangan UN itu sendiri. Pro dan kontra itu akan berhenti dengan sendirinya apabila seluruh pelaku pendidikan, dari hulu sampai ke hilir mengubah pandangannya tentang belajar dan mengajar. Pandangan yang harus diubah adalah pandangan yang selama ini telah mendarah dan mendaging, misalnya (1) pengetahuan adalah seperangkat fakta yang harus dihafal, (2) anak belajar dengan cara mengetahui, (3) menilai bertujuan mengukur apa yang sudah diketahui. Bukti telah mendarah dagingnya pandangan itu adalah dengan hanya mengandalkan ujian tulis secara nasional untuk mengukur keberhasilan anak. Padahal, para ahli mengingatkan bahwa pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi, sebagaimana tercermin dalam pandangan di atas, hanya berhasil mengantarkan siswa untuk mengingat jangka pendek, tetapi telah gagal membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang.

Pandangan baru yang perlu dikembangkan adalah (1) pengetahuan harus dibangun sendiri di dalam benak siswa,  (2) anak belajar dengan cara mengalami, (3) menilai bertujuan mengukur aktivitas belajar anak. Pandangan ini harus diikuti dengan pengubahan strategi pembelajaran di dalam kelas. Pembelajaran harus mampu mendorong siswa membangun/mengonstruksikan pengetahuan di benak anak, mendorong menemukan pengetahuan yang dipelajarinya. Dengan pengubahan strategi pembelajaran seperti itu, maka penilaian pun akan berubah ke penilaian yang sebenarnya (authentic assessment). Penilaian dalam konteks pembelajaran seperti itu adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran itu akan dipakai guru untuk membimbing siswa agar mengalami proses pembelajaran yang benar. Penilaian seperti itu hanya bisa dilakukan oleh guru, bukan yang lainnya.

Akhirnya, semua itu terpulang kepada diri kita. Akankah kita tetap mempertahankan UN dengan konsekuensi menjadi hantu bagi banyak pihak? Banyak orang ketakutan, banyak orang cemas, banyak orang memilih jalan pintas, berpikir tidak rasional. Akibat lebih jauh dari dilaksanakan UN adalah pembelajaran yang terjadi di kelas bukanlah membekali siswa memecahkan persoalan dalam kehidupan masa depan, tetapi lebih banyak mengantarkan siswa mengingat jangka pendek. Lebih banyak berlatih mengerjakan soal setara soal UN, supaya nilai UN bagus. Sungguh kasihan anak-anakku tersayang. Belajarlah nak, supaya nilai UNmu bagus. Nilai UN akan menentukan nasibmu, nama baik gurumu, sekolahmu  dan seterusnya, dan seterusnya ....


Maryono, M.Pd, Dosen FKIP Universitas Jambi
E-mail: maryono_jambi@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar