Entri Populer

Jumat, 18 Februari 2011

Kontak Budaya dalam Film Sulih Suara


KONTAK BUDAYA DALAM FILM SULIH SUARA
Maryono, Pendidikan Bahasa dan Seni, FKIP Universitas Jambi
  1. PENDAHULUAN
Tema "Posisi dan Proporsi Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi" menyiratkan kegundahan kita, sekurang-kurangnya Panitia, dalam menatap keadaan bahasa Indonesia pada era global yang sedang dan akan semakin deras melanda dunia, termasuk Indonesia. Kegundahan itu wajar mengemuka mengingat bahasa Indonesia adalah bahasa yang "sedang berkembang" sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Perkembangan bahasa dan masyarakat berimplikasi pada terjadinya pergeseran-pergeseran pada bahasa dan masyarakat itu sendiri. Kegundahan itu muncul karena dikhawatirkan pergeseran yang akan terjadi adalah pergeseran ke arah negatif; pergeseran yang betul-betul menggeser eksistensi bahasa Indonesia. Oleh karena itu, perlu disambut gembira untuk bersama-sama memikirkan jalan keluar agar kita tidak semakin gamang dalam mengapresiasi bahasa Indonesia.
Arus globalisasi melanda dunia, satu di antaranya melalui teknologi komunikasi. Dengan diciptakannya teknologi dalam bidang komunikasi, suatu peristiwa yang terjadi di suatu belahan dunia dalam detik yang sama peristiwa itu dapat diketahui, dilihat gambarnya, didengar suaranya di belahan dunia yang lain. Peristiwa pemakaman Lady Di, misalnya, pada detik yang sama kita yang berada di kota Jambi ini dapat melihat dan mendengar peristiwa itu. Antara London dan Jambi yang jaraknya beribu-ribu kolimeter itu seolah-olah seperti antartetangga rumah saja. Itu sebabnya, era saat ini disebut era global, suatu era yang tidak jelas lagi batas-batas negara, batas bangsa.
Peristiwa pemakaman Lady Di itu dapat kita ikuti berkat adanya teknologi komunikasi, khususnya televisi dan satelit. Pesawat televisi di kota Jambi tercinta ini, tanpa antene parabola pun, telah mampu menangkap siaran beberapa stasiun televisi nasional. Hampir semua lapisan masyarakat di kota Jambi dan sekitarnya telah tersapu oleh arus global yang dipandu oleh stasiun-stasiun televisi nasional itu. Apa yang telah ditonton oleh orang Jakarta, Surabaya, Jayapura, itu pula yang ditonton oleh orang Jambi.
Salah satu acara televisi yang belakang ini diperbincangkan adalah penayangan film sulih suara. Film itu berasal dari negara lain dengan para pemain, sutradara, dan penulis naskah dari negara lain tersebut, seperti India, Cina, Jepang, Meksiko, dan negara-negara Eropa dan Amerika Utara. Suara dalam film itu oleh rumah produksi di Indonesia diubah ke dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, pelaku-pelaku dan latar film itu tetaplah sebagaimana aslinya.
Film sulih suara itu belakangan ini ramai diperbincangkan oleh masyarakat. Penyebab ramainya perbincangan itu akhir-akhir ini adalah dikeluarkannya keputusan oleh Menteri Penerangan, R. Hartono, bahwa mulai Oktober 1997 tidak ada lagi film di televisi yang disulihsuarakan. Salah satu alasannya adalah film sulih suara itu mempunyai dampak yang tidak baik bagi kepentingan bangsa dan negara (Paron, No. 18/23 Agustus 1997, hal. 10). Kesungguhan tekad pemerintah itu, kata Menpen, tidak terlepas dari usulan para anggota Komisi I DPR RI.
Perbincangan yang diangkat dalam tabloid yang dikutip itu sebagian besar menyangkut stasiun televisi dan tenaga kerja yang ada di rumah produksi. Stasiun televisi telah mengeluarkan biaya milyaran rupiah untuk menyulisuarakan film, tetapi nasib film yang telah disulihsuarakan itu belum jelas nasibnya mengingat pelarangan tersebut. Tenaga kerja yang ada di rumah produksi juga mengeluh karena ladang tempat mereka memperoleh penghasilan selama ini bakal ditutup. Namun, tidak banyak diangkat penjelasan tentang dampak yang tidak baik bagi kepentingan bangsa dan negara sebagaimana dikemukakan oleh Menpen Hartono dan para wakil rakyat tersebut.
Tulisan ini mencoba menyajikan kajian tentang dampak yang ditimbulkan oleh film sulih suara pada budaya Indonesia. Film sulih suara yang dimaksud dalam tulisan ini difokuskan pada film drama keluarga, seperti Hati yang Mendua atau Maria Mersedes Budaya Indonesia yang dimaksud dalam tulisan ini dikhususkan pada bahasa Indonesia dan/atau bahasa daerah dan perilaku manusia yang berkaitan erat dengan bahasa yang digunakannya itu. Kajian yang akan dilakukan bersifat teoretis sehingga masih sangat perlu diuji dengan mengumpulkan data empirik dari film yang disulihsuarakan itu.
  1. BAHASA DALAM KOMUNIKASI
Kartomihardjo dalam Bahasa Cermin Kehidupan Masyarakat (1988) berpendapat bahwa dalam berinteraksi sosial, manusia menggunakan tiga perangkat komunikasi, yaitu bahasa, gaya berbahasa (style), dan kinesik.
2.1 Bahasa
Bahasa dalam pengertian ini adalah kaidah-kaidah tentang struktur bunyi, struktur kata, dan struktur kalimat. Kaidah-kaidah dimaksud dapat dengan mudah kita temukan dalam buku-buku tata bahasa. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, misalnya, memuat kaidah-kaidah bahasa Indonesia tentang struktur bunyi, struktur kata, dan struktur kalimat. Dalam berinteraksi sosial, kaidah bahasa itu sangat diperlukan karena kaidah-kaidah itulah yang telah disepakati bersama oleh masyarakat pemakai bahasa. Meskipun di sana-sini terdapat variasi-variasi, baik dalam kelompok yang satu dengan kelompok yang lain dalam masyarakat bahasa yang sama maupun antarindividu dalam kelompok tertentu, tetapi kaidah yang merupakan inti aturan dari suatu bahasa tetaplah ada dan dipatuhi oleh masyarakat bahasa itu.
2.2 Gaya Berbahasa
Dalam berinteraksi sosial, ternyata pemakai bahasa tidak cukup hanya memberlakukan tata bahasa itu. Pemakai bahasa juga menggunakan gaya berbahasa (style). Kertomihardjo (1988) memberikan definisi bahwa style adalah piranti untuk menyampaikan makna sosial atau artistik yang tidak bisa disampaiakn lewat kata-kata dengan makna harfiah. Melalui gaya berbahasa, pembicara suatu percakapan, baik disadari maupun tidak, ternyata mampu memberikan informasi yang jauh lebih banyak daripada apa yang terucapkan melalui kata-kata.
Contoh: (1) "Selamat pagi, Pak Mail ...!"
(2) "Apo cerito ..., pagi-pagi lah datang kemari? Apo hale?.
Seorang atasan yang menyapa bawahan dengan ucapan (1) akan mendapat respon yang berbeda dari bawahannya bila atasan itu menya­pa dengan ucapan (2). Ucapan (1) mengandung pesan bahwa si atasan ingin diakui sebagai seorang atasan yang penuh wibawa, bawahan tidak perlu berakrab-akrab dengannya, jarak antara atasan dan bawahan selalu dijaga, dan pada kesempat­an itu harap disampai­kan apa perlunya saja. Pesan seperti itu muncul karena ucapan (1) tidak biasa ditemui dalam percakapan sehari-hari antarwarga masyarakat di Jambi. Ucapan (1) adalah ucapan yang ada dalam ragam bahasa Indonesia baku, yang tampaknya merupakan ucapan terjemah­an dari bahasa barat Good morning (Inggris) atau bahasa Eropa lainnya. Ucapan seperti itu hanya digunakan pada situasi-situasi resmi, seperti di kantor-kantor pemerintahan. Dengan kata lain, ucapan (1) tidak merakyat bagi masyarakat Jambi sehingga nilai-nilai keakraban dari ucapan itu tidak ada.
Pesan yang dapat disampaikan melalui ucapan (2) adalah pembica­ra, yakni si atasan ingin melakukan percakapan dengan bawahannya itu dengan gaya sebagaimana biasanya di rumah atau di kampungnya. Si atasan ingin bawahan dapat berbicara dengan akrab, mungkin seperti adik dengan abangnya, atau anak dengan bapaknya. Batas-batas kedinasan, antara atasan dan bawahan, minta dipahami sebagai batas-batas abang dan adiknya atau batas antara bapak dan anaknya. Jadi, si pembicara, yakni si atasan itu, menginginkan suatu percakapan yang kental dengan nilai-nilai sosial dan nilai-nilai budaya Jambi.
Berikut ini disampaikan contoh lain penggunaan gaya berbahasa itu.
(3) Selamat siang, Pak!
(4) Hai, kapan datang?
(5) Pak Hasan, nanti ke atas, ya ...!
Di pelataran kampus ada seseorang setengah baya yang disapa oleh beberapa orang. Penyapa pertama menyapa dengan ucapan (3), penyapa kedua menyapa dengan ucapan (4), dan penyapa ketiga menyapa dengan ucapan (5). Ucapan (3) memberikan informasi bahwa pembicara adalah bawahan dari orang yang disapanya itu. Mungkin pembicara adalah mahasiswanya. Mung­kin juga pembicara adalah anak buah dari orang yang disapanya. Informasi itu diperoleh melalui keformalan gaya berbahasa yang dipakai. Biasanya, orang yang menyapa dengan gaya formal adalah anak buahnya yang menyapa atasannya. Karena peristiwa berlangsung di kampus, maka bisa jadi yang menyapa adalah mahasiswa dan yang disapa adalah dosennya.
Sementara itu, ucapan (4) menginformasikan bahwa pembicara adalah teman akarab dari orang yang disapa. Informasi itu diperoleh dari pemakaian kata Hai dalam sapaannya. Siapa yang berani menyapa dengan ucapan Hai kepada orang setengah baya, kalau bukan teman akrabnya?
Lain lagi dengan ucapan (5). Pembicara ucapan (5) kemungkin besar adalah atasan dari orang yang disapa yang ternyata bernama Hasan. Ucapan (5) memberikan makna bahwa Pak Hasan disuruh ke atas oleh penyapa. Biasanya, yang biasa disuruh adalah bawahan. Jarang kita temui ada bawahan yang menyuruh atasan. Kalaupun terpaksa menyuruh, biasanya dipakai gaya bahawa bila bapak berkenan, sebaiknya, kami sarankan dan kata-kata sejenisnya.
Gaya berbahasa dalam interaksi sosial dapat muncul pada semua fungsi bahasa. Halliday (1973) mengidentifikasi fungsi bahasa menjadi tujuh fungsi, yaitu (1) fungsi instrumental, (2) fungsi regulasi, (3) fungsi representasional, (4) fungsi interaksi, (5) fungsi heuristik, (6) fungsi personal, dan (7) fungsi imajinatif. Ahli bahasa yang lain, van Ek (1985) mendaftar enam fungsi bahasa, yaitu (1) menyampaikan dan mencari informasi faktual, (2) mengungkapkan dan memahami sikap intelektual, (3) mengungkapkan dan memahami sikap emosional, (4) mengungkapkan dan memahami sikap moral, (5) menyelesaikan sesuatu, (6) bergaul dengan masyarakat dalam proses sosialisasi. Selanjutnya, Finocchiaro (1979) mengklasifikasikan fungsi komunikasi bahasa menjadi lima kategori, yaitu (1) personal, (2) interpersonal, (3) fungsi direktif, yaitu upaya agar orang terpengaruh untuk melakukan sesuatu, menerima atau menolak perintah, (4) fungsi referensial, yaitu mengatakan atau melaporkan sesuatu kegiatan, peristiwa, berbicara tentang bahasa dan lain-lain; fungsi itu disebut juga fungsi metalinguistik, (5) fungsi imajinatif, misalnya diskusi tentang puisi, cerita, menciptakan puisi, memecahkan masalah atau misteri dan lain-lain.
Adapun wujud dari tiap-tiap fungsi bahasa tersebut dalam kenyataan pemakaian bahasa berupa pola interaksi verbal yang melibatkan pernyataan-pernyataan untuk (1) menyapa, mengundang, menerima, dan menjamu; (2) memuji, mengucapkan selamat, menyanjung, merayu, menggoda, mempesonakan, menyombongkan; (3) menginterupsi, menyela, dan memotong pembicaraan; (4) memohon, meminta, dan mengharapkan; (5) mengelak, membohongi, mengobati kesalahan; (6) mengkritik, menegur, mencerca, mengomeli, mengejek, menghina, mengancam, dan memperingatkan; (7) mengeluh, mengaduh; (8) menuduh dan menyangkal atau mengingkari; (9) menyetujui, menolak, dan membantah; (10) meyakinkan, menuntut, mempengaruhi, mengingatkan, menegaskan atau menyatakan, dan menasihati; (11) melaporkan, menilai, dan mengomentari; (12) memerintahkan, memesan, meminta atau menuntut; (13) menanyakan, memeriksa, atau meneliti; (14) menaruh simpati dan menyatakan bela sungkawa; dan (15) meminta maaf atau memaafkan (Tarigan, 1986).
Dalam kaitannya dengan pemakaian gaya berbahasa, pandangan tentang fungsi bahasa yang lebih relevan adalah pandangan Brown dan Yule (1996) yang memberikan pandangan bahwa bahasa berfungsi sebagai transaksional dan sebagai interaksional. Fungsi transaksional bila bahasa dipakai untuk mengungkapkan isi, sedangkan fungsi interaksional bila bahasa dipakai untuk mengungkapkan hubungan-hubungan sosial dan sikap-sikap pribadi pemakainya. Mengikuti pandangan tersebut, gaya berbahasa akan lebih banyak digunakan dalam fungsi bahasa interaksional. Melalui gaya berbahasa yang biasa dipakai dalam suatu masyarakat bahasa, hubungan sosial akan terjalin sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
2.3 Kinesik
Istilah kinesik atau kinesika sebenarnya mengacu kepada penelitian mengenai gerak tubuh dan gerak muka yang dipakai dalam berkomunikasi (Kridalaksana, 1983). Gerak tubuh meliputi gerakan atau gelengan kepala, gerakan bahu, gerakan tangan dan jari-jemarinya, gerakan badan, goyangan pinggul, dan lain-lain. Gerak muka meliputi sorot mata, gerakan bulu alis, bulu mata, gerakan bibir, dan raut muka secara keseluruhan.
Berkaitan dengan gerak tubuh dan gerak muka ini, Kartomihardjo (1988) berpendapat bahwa gerak tubuh dan gerak muka ternyata ada yang bersifat universal dan banyak juga yang bersifat khusus sesuai dengan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat. Gerak ke atas sudut kiri dan kanan mulut pada waktu manusia bergembira dan gerak ke bawah pada waktu sedih adalah contoh gerakan muka yang bersifat universal. Keuniversalan itu terbukti dengan penelitian yang dilakukan oleh Ekman dan dua orang rekannya (dalam Kartomihardjo, 1988) yang meneliti foto-foto ekspresi wajah dari orang Jepang, Brazil, Kalimantan, Papua New Guinea, dan Amerika Serikat. Namun, dalam hal gerak tubuh dan gerak muka ini jauh lebih banyak lagi yang bersifat khusus, yang sesuai dengan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat. Gerakan "memanggil", misalnya, bagi orang Indonesia dilakukan dengan menjulurkan tangan ke depan badan, telapak tangan tertelungkup dan menggerak-gerakkan jemarinya. Gerakan seperti itu, bagi masyarakat Barat pada umumnya akan berarti "menyuruh pergi". Banyak lagi gerak tubuh dan gerak muka yang merupakan ciri khas dari kelompok masyarakat tertentu. Tidak hanya kelompok masyarakat yang berbeda benua, kelompok masyarakat satu negara pun, ditemukan adanya perbedaan gerak tubuh dan gerak muka dalam berkomunikasi. Untuk menunjuk benda atau arah, bagi masyarakat di pulau Jawa menggunakan ibu jari bila sedang berinteraksi dengan orang yang berstatus sosial lebih tinggi dan menggunakan telunjuk bila sedang berinteraksi dengan orang yang berstatus sosial lebih rendah. Bagi masyarakat Tapanuli, sering menggunakan bibir mereka untuk menunjuk benda atau arah itu.
  1. KOMUNIKASI PADA FILM SULIH SUARA
Film sebagai "tiruan" interaksi sosial juga menggunakan ketiga perangkat komunikasi, yaitu bahasa, gaya berbahasa, dan kinesik. Dalam film sulih suara perangkat komunikasi kinesik tidak mengalami perubahan karena gambar film itu tetap film aslinya sehingga pelaku-pelaku dalam film itu adalah orang-orang dari negara-negara asal film itu diimpor. Sementara itu, perangkat komunikasi bahasa dan gaya berbahasa itulah yang disulihsuarakan ke dalam bahasa Indonesia. Dengan mengganti bahasa dan gaya berbahasa di satu sisi dan tidak mengganti kinesik di sisi lain, sedikit atau banyak menimbulkan "konflik-konflik". Secara umum, konflik itu terjadi karena penyesuaian antara gerak bibir dan gerak muka dengan suara yang harus dikeluarkan. Akibat lebih lanjut dari penyesuaian itu adalah (1) perbedaan kinesik pelaku film dengan bahasa dan/atau gaya berbahasa yang diucakpan penyulihsuaranya, (2) tidak selektifnya gaya berbahasa yang dipergunakan dalam komunikasi, dan (3) struktur bahasa yang digunakan.
3.1 Kinesik dalam Film Sulih Suara
Film-film dengan pelaku yang berasal dari budaya yang berbeda dengan budaya Indonesia banyak menampilkan gerak tubuh dan gerak wajah yang mencerminkan budaya mereka. Ekespresi seorang anak yang berbicara dengan orang tuanya, bagaimana sorot matanya, bagaimana jarak pembicaraan anatara anak dengan orang tua, bagaimana cara duduk, bagaimana posisi tangan, dan lain-lain semuanya itu mencerminkan ekspresi budaya si pemain dan pembuat film itu. Dalam film sulih suara, semua ekspresi itu disuarakan dalam bahasa Indonesia.
Dengan keadaan tersebut, apakah setiap penonton film sulih suara dapat secara sadar membedakan bahwa gerak tubuh dan gerak wajah yang ditampilkan dalam film itu bukanlah cerminan budaya Indonesia, meskipun bahasa yang disuarakan adalah bahasa Indonesia? Bila penonton telah menyadari keadaan itu, berarti penonton itu telah memiliki ketahanan budaya dan kecil kemungkinannya akan terpengaruh oleh perilaku dalam film itu. Namun, bila penonton tidak menyadari perbedaan itu, terutama penonton anak-anak, penonton tersebut akan menjadikan ekspresi-ekspresi dalam film itu sebagai bagian yang akan ditirunya. Memberikan sesuatu dengan tangan kiri, berbicara dengan orang tua sekali pun dengan menatap tajam wajah lawan bicara, kesemuanya itu -- bagi penonton yang ketahanan budayanya masih lemah -- akan mencemari budaya Indonesia.
3.2 Gaya Berbahasa dalam Film Sulih Suara
Karena penyulihan suara dalam film sulih suara terkekang oleh alur cerita dan gerak bibir pelaku, sangat disangsikan penyulihannya itu memperhatikan dengan cermat gaya berbahasa (style) bahasa Indonesia yang yang disulihkannya itu. Padahal, dalam interaksi sosial sehari-hari masyarakat Indonesia, gaya berbahasa melekat pada bahasa yang digunakannya.
Pada saat seorang tokoh berjumpa dengan orang lain, sering kita dengar ucapan, "Apa kabar? Senang sekali saya bertemu kamu, Reinaldo." Ucapan seperti itu tidak biasa dijumpai dalam interaksi sosial masyarakat Indonesia. Bagi sebagian besar masyarakat kita, bila seseorang bertemu dengan orang lain, "salam jumpa" yang akan disampaikanya berupa pertanyaan atau komentar tentang apa yang terjadi pada waktu itu. Misalnya, "Mau ke mana, Pak?", "Sibuk sekali, tampaknya, Pak Bakri?, "Tengok-tengok kawan, oi ..." Budaya Indonesia ber-"salam jumpa" seperti itu sering dituduh oleh orang Barat sebagai mencampuri urusan orang lain. Namun, begitulah kebiasaan masyarakat kita. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan bukanlah pertanyaan yang harus dijawab. Pertanyaan atau komentar itu adalah pertanda bahwa si penanya "masih" mengenal orang yang ditanya dan ingin diakui sebagai orang yang berada dalam lingkungan sosialnya. Kebiasaan yang berbeda yang ada dalam film sulih suara dalam memberikan "salam jumpa" akan memberikan dampak negatif terhadap perkembangan bahasa Indonesia.
Seorang anak yang meminta dibelikan sesuatu, misalnya sepatu, bagi anak-anak Indonesia, jarang sekali akan memintanya dengan kalimat, "Pak, Adi belikan sepatu baru!" Biasanya, permintaan itu akan berbunyi, "Pak, kawan Adi sepatunya baru, masa sepatu Adi sudah dua tahun belum diganti" Demikian juga, anak yang meminta dibelikan empek-empek akan menyampaikan kalimat kepada ibunya, "Bu, tukang empek-empek lewat!" Seorang perjaka yang mengajak anak gadis berjalan-jalan akan menyampaikannya dengan ucapan, "Nanti sore kamu ada acara, ndak? Di sudut kampung itu tampaknya ada pertunjukan dangdut." Apakah cara-cara meminta seperti itu diperhatikan dalam film sulih suara?
Bila seorang Bapak menyuruh pembantunya mencuci jaket, Bapak itu akan mengatakan, "Nem, jaket Bapak sudah direndam di ember merah itu." Demikian juga, seorang ibu yang bermaksud mengusir perjaka yang meng-apel-i anak gadisnya karena hari sudah pukul sembilan malam akan berkata kepada anak gadisnya, "Sari, jam berapa sekarang?" Apakah gaya berbahasa seperti itu juga terjadi dalam film sulih suara?
Masih banyak lagi gaya berbahasa yang dipakai oleh masyarakat Indonesia. Berdasarkan fungsi-fungsi bahasa, gaya berbahasa itu akan muncul dalam setiap pelaksanaan fungsi-fungsi bahasa itu, yang telah didaftar oleh Tarigan (1986) menjadi lima belas pernyataan. Gaya berbahasa itulah yang mencerminkan budaya Indonesia. Bagaimana orang Indonesia meminta, menyuruh, memberi salam, memarahi dan lain-lain, semuanya itu mencerminkan budaya Indonesia. Ungkapan "bahasa mencerminkan bangsa", cermin bangsa itu akan terlihat dalam gaya berbahasa bangsa itu. Oleh karena itu, bila semakin seringnya masyarakat Indonesia menonton film sulih suara yang tidak menyertakan secara cermat gaya berbahasa sebagaimana digunakan oleh masyarakat Indonesia, maka bahasa Indonesia, khususnya dalam gaya berbahasanya, akan mengalami perkembangan yang negatif. Budaya Indonesia yang tercermin dalam gaya berbahasanya akan mengalami serangan yang cukup serius.
3.3 Bahasa dalam Film Sulih Suara
Dilihat dari segi bahasa, yang meliputi struktur bunyi, struktur kata, struktur kalimat, tampaknya bahasa dalam film sulih suara tidak mengalami persoalan yang berarti. Pengisi suara adalah orang-orang Indonesia yang memiliki kemampuan berbahasa Indonesia cukup baik. Mereka dalam melafalkan bunyi-bunyi bahasa Indonesia sebagaimana orang Indonesia umumnya. Demikian pula dalam pembentukan kata dan kalimatnya. Intonasi kalimat yang masih terdengar belum wajar. Intonasi yang dihasilkan belum terdengan sebagaimana wajarnya orang Indonesia berbahasa Indonesia.
  1. SIMPULAN
Pada akhir tulisan ini disampaikan simpulan sebagai berikut:
(1) Budaya Indonesia yang dapat terganggu sebagai akibat film sulih suara adalah kinesik orang Indonesia (gerak tubuh dan gerak wajah) dan gaya berbahasa Indonesia.
(2) Stasiun televisi sebagai salah satu pelaku pengantar arus global di Indonesia ikut berperan dalam menjaga budaya Indonesia yang dicerminkan melalui bahasa yang digunakan.
Jambi, Agustus 1997
DAFTAR RUJUKAN
Brown, Gillian dan George Yule. 1996. Analisis wacana. Terjemahan I. Soetikno. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Ek, J.A. van. 1985. The treshold level for modern language learning in schools. Longman Group, London.
Finocchiaro. M. 1979. "The functional-notional syllabus: problem, practice". dalam English teaching forum 17: 11--20
Halliday, M.A.K. 1973. Exploration in the function of language. Edward Arrnold, London.
Kartomihardjo, Soeseno. 1988. Bahasa cermin kehidupan masyarakat. Depdikbud Ditjen Dikti, PPLPTK, Jakarta
Kridalaksana, Harimurti. 1983. Kamus linguistik. PT Gramedia, Jakarta
Tarigan, H.G. 1986. Pengajaran pragmatik. Angkasa, Bandung.

Rabu, 16 Februari 2011

Nilai Akhir Mata Kuliah SEMNAR KEPENDIDIKAN PKGSD Muara Jambi

DAFTAR PERINCIAN NILAI AKHIR (DPNA)



Nama Mata Kuliah SEMINAR KEPENDIDIKAN



Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar


Dosen Pengampu Drs. Maryono, M.Pd







Nama Mahasiswa NIM Rincian Nilai
KUIS PF Aktif UAS NA Huruf
AFRIANA 65 70 75 70 70 B
AISYAH 65 73 80 70 71 B
ANARMIZA 75 78 80 70 75 B+
ASTUTI 65 73 80 70 71 B
DASWITA 65 73 80 70 71 B
EFFENDI 65 73 80 70 71 B
ELYZA 65 73 80 70 71 B
EMIYATI ROSPITA 65 70 75 70 70 B
FATIMAH ASBILIAH 65 73 80 70 71 B
FATIMAH TUZAHARA 75 78 80 70 75 B+
HAMID 65 70 75 70 70 B
HERLINA 75 75 75 70 74 B
HIRNIWATI 75 73 70 70 72 B
JAWAL HADI 65 70 75 70 70 B
KARYATI 75 78 80 70 75 B+
LINAWATI 65 73 80 70 71 B
LISNUR ATETI 65 63 60 70 65 C+
MAHDALENA 65 73 80 70 71 B
MAIMUN 65 73 80 70 71 B
MARIADI 65 70 75 70 70 B
MARJAI 65 73 80 70 71 B
MISRIANTI 65 73 80 70 71 B
MUHAMMAD YANI 65 73 80 70 71 B
MUJIATI 65 70 75 70 70 B
MUKHLISIN 75 78 80 70 75 B+
MULYANI 65 73 80 70 71 B
NURHAYATI 65 73 80 70 71 B
NURHELMAH 65 70 75 70 70 B
RAMSIA 65 73 80 70 71 B
RINA MARIAH 65 73 80 70 71 B
RITA UTAMI 65 73 80 70 71 B
RTS. HUZAIMAH 65 63 60 70 65 C+
RTS. MARYANA 65 73 80 70 71 B
RUSMIAH 65 73 80 70 71 B
SAPURIAH 65 73 80 70 71 B
SARMINI 65 73 80 70 71 B
SASTRI HELNI 65 73 80 70 71 B
SITI HADI 75 78 80 70 75 B+
SITI SAEBAH 65 73 80 70 71 B
SITI SAFIAH 65 73 80 70 71 B
SRI MULYAWATI 65 70 75 70 70 B
SRI MURNIATI 65 68 70 70 68 C+
SULIANA 65 73 80 70 71 B
SUMITA 65 73 80 70 71 B
TUGIMIN 75 78 80 70 75 B+
UMI KALSUM 75 78 80 70 75 B+
YULIS SURYANINGSIH 75 75 75 70 74 B
YULIWATI 65 73 80 70 71 B
YURMANINGSIH 75 78 80 70 75 B+






Jambi, 1 Februari 2011


Dosen Pengampu










Drs. Maryono, M.Pd


NIP 19610707 198603 1 003