Entri Populer

Minggu, 09 Oktober 2011

STRATEGI PEMENUHAN BUTIR-BUTIR AKREDITASI DI TENGAH KEBIJAKAN SEKOLAH GRATIS


BAP S/M PROVINSI JAMBI

STRATEGI PEMENUHAN BUTIR-BUTIR AKREDITASI
DI TENGAH KEBIJAKAN SEKOLAH GRATIS

 Oleh: Drs. Maryono, M.Pd
Anggota BAP S/M Provinsi Jambi

Pendahuluan
Kebijakan sekolah gratis yang dicanangkan pemerintah di beberapa daerah telah membuat gundah para pengelola sekolah. Sekolah tidak diizinkan lagi melakukan pungutan kepada orang tua siswa untuk kepentingan pengelolaan sekolah. Sekolah pun tidak bisa lagi melakukan pengembangan yang melibatkan partisipasi orang tua murid. Pengelolaan sekolah dan pengembangan sekolah sangat bergantung kepada dana pemerintah, baik berupa biaya operasional sekolah (BOS) maupun biaya-biaya lain yang bersumber dari APBN atau APBD.
Sementara itu, sekolah berkewajiban melakukan penjaminan mutu  internal guna menjamin kualitas penyelenggaraan pendidikannya. Penjaminan mutu internal meliputi: (1)  penerapan manajemen berbasis sekolah dengan prinsip kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. (PP 19/2005 psl 49), (2) pengembangan Visi dan Misi  (Standar Pengelolaan), pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Standar Isi), pelaksanaan penilaian hasil belajar termasuk ujian sekolah, dan evaluasi kinerja masing-masing. (PP19/2005 psl 65); (3) Satuan pendidikan wajib melakukan penjaminan mutu pendidikan, untuk memenuhi atau melampaui SNP. (PP 19/2005 psl 91). Selain itu, sekolah juga berkepentingan dengan penjaminan mutu eksternal, di antaranya mengikuti akreditasi sekolah.
Makalah ini mencoba memberikan pemikiran alternatif yang dapat digunakan oleh sekolah dan lembaga serta para pihak terkait sehingga kebijakan sekolah gratis tetap bisa dilanjutkan dan ditingkatkan, semetara sekolah juga tetap terus bisa mengembangkan sekolahnya menjadi sekolah standar nasional bahkan menjadi sekolah bertaraf internasional.

Pemenuhan Standar Nasional Pendidikan melalui Butir-butir Akreditasi
Tanggal 16 Mei 2005 diterbitkan peraturan pemerintah (PP) nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Dengan PP 19/2005 itu, semua sekolah di Indonesia diarahkan dapat menyelenggarakan pendidikan yang memenuhi standar nasional. Lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi (1) standar isi; (2) standar proses; (3) standar kompetensi lulusan; (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan; (5) standar sarana dan prasarana; (6) standar pengelolaan; (7) standar pembiayaan; dan (8) standar penilaian pendidikan. PP 19/2005 itu dilengkapi dengan berbagai peraturan menteri yang memberi jabaran lebih lanjut tentang delapan standar tersebut. Peraturan menteri tersebut adalah sebagai berikut: Standar Isi (Permen No.22/2006); Standar Proses (Permen No.41/2007, 01/2008); Standar Kompetensi Lulusan (Permen No.23/2006); Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Permen No.13,16 /2007; 24,25,26,32/2008); Standar Sarana dan prasarana (Permen No.24/2007; 33/2008); Standar Pengelolaan (Permen No.19/2007); Standar Pembiayaan (PP No.48/2008, Permen 69/2009); dan Standar Penilaian Pendidikan (Permen No.20/2007).
Pendidikan standar wajib dipenuhi oleh sekolah. Delapan standar tersebut setahap demi setahap harus bisa dipenuhi oleh sekolah. Secara berkala sekolah pun diukur pemenuhan delapan standar itu melalui akreditasi sekolah. Melalui proses akreditasi itu, sekolah akan berlabel terakreditasi A, B, atau C. Sekolah yang terakreditasi A adalah sekolah yang mendapatkan skor 86 atau lebih. Sekolah yang belum memperoleh akreditasi A harus terus berusaha meningkatkan standar pendidikannya agar memperoleh akreditasi A. Sekolah yang terakreditasi A akan mendapat kepercayaan masyarakat karena akreditasi A adalah cerminan sekolah yang bermutu. Sebaliknya, sekolah yang tidak terakreditasi, akan mendapat sanksi tidak boleh melaksanakan ujian; siswa di sekolah yang tidak terakreditasi harus menumpang ujian di sekolah yang terakreditasi. Sanksi juga bisa dijatuhkan oleh masyarakat kepada sekolah yang tidak terakreditasi atau terakreditasi rendah, sanksi itu berupa keengganan masyarakat menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut.
Memperhatikan tuntutan sekolah bermutu itu, yakni sekolah yang sanggup memenuhi butir-butir akreditasi dengan skor 4 atau jawaban (A) setiap butirnya, sekolah harus bekerja keras untuk memenuhi standar pendidikan yang nantinya tercermin dari status akreditasinya. Sekolah yang telah terakreditasi A pun harus terus mempertahankan delapan standarnya agar tidak turun status akreditasinya. Bahkan, banyak sekolah yang terakreditasi A berkeinginan meningkatkan status sekolahnya menjadi rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan selanjutnya menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI).
Memenuhi standar pendidikan bukannya tanpa biaya. Sekolah menengah atas (SMA) yang memenuhi standar sarana dan prasarana akan memiliki: luas tanah, mutu bangunan, mutu listrik, ruang kelas, ruang perpustakaan, laboratorium biologi, laboratorium fisika, laboratorium kimia, laboratorium komputer, laboratorium bahasa, ruang pimpinan, ruang guru, ruang tata usaha, tempat beribadah, ruang bimbingan, ruang UKS, ruang organisasi kesiswaan, jamban, gudang, ruang sirkulasi, dan tempat bermain/olahraga. Dengan demikian, menyelenggarakan pendidikan tidak cukup hanya memiliki ruang empat dinding. Banyak hal lain yang harus dipenuhi sebagaimana dituntut dalam standar sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana pun harus bermutu, bersih, sehat, dan menarik. Belum lagi kebutuhan sarana mengakses internet yang mampu menjadikan pembelajaran menarik, bervariasi, dan kaya akan informasi. Terbukti, saat ini sudah banyak sekolah yang memiliki jaringan internet sendiri untuk kepentingkan belajar murid-muridnya. Melengkapi sarana dan prasara sekolah, standar minimal sekali pun, pastilah memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Standar proses yang harus dipenuhi oleh sekolah agar menjadi sekolah standar meliputi silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, satu rombongan belajar maksimal 32 orang (untuk SMA), satu buku teks per siswa, langkah pembelajaran benar, pemantauan, supervisi, dan evaluasi proses oleh kepala sekolah, kepala sekolah melaporkan hasil pengamatannya. Hal-hal yang diperlukan dalam pemenuhan standar proses tidak cukup hanya mewajibkan guru membuat ini membuat itu. Lebih-lebih bila kompetensi guru tidak merata untuk menyusun perangkat-perangkat pembelajaran itu. Hal itu berarti dibutuhkan forum untuk meningkatkan kompetensi guru yang juga memerlukan biaya untuk melakukan itu. Insentif tambahan bagi guru dan kepala sekolah juga penting agar mereka lebih serius dan berkonsentrasi dalam melengkapi perangkat pembelajarannya. Dengan perangkat pembelajaran yang lengkap dan bermutu diharapkan  proses pembelajaran akan lebih bermutu.
Uraian dua standar di atas hanyalah sekedar contoh bagaimana seharusnya sekolah memenuhi standar pendidikan nasional. Enam standar yang lain tidak boleh ada yang diabaikan. Keenamnya harus  dipenuhi. Untuk memenuhinya diperlukan kompetensi yang cukup, biaya yang cukup, juga tambahan kesejahteraan bagi para pelaksananya. Dengan kata lain, melaksanakan pendidikan yang bermutu memang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Semua pihak yang berkepentingan dengan pendidikan bermutu haruslah mengupayakan agar biaya untuk melakukan hal itu tersedia.
Kebijakan Sekolah Gratis
Kata “gratis” dalam istilah “sekolah gratis” memiliki pemahaman yang beragam. Versi sebagian masyarakat, sekolah gratis berarti orang tua hanya mengantarkan anaknya ke sekolah dan sekolah tidak memungut satu rupiah pun dari dirinya untuk keperluan pendidikan anaknya itu. Sebagian masyarakat yang terhipnotis dengan janji-janji politik saat kampanye benar-benar meyakini bahwa sekolah gratis bermakna seperti itu. Pemahaman itu makin mendapat pembenarannya dengan beredarnya pernyataan dan lebih lagi surat dari pejabat berwenang yang meminta sekolah tidak boleh mengadakan pungutan dalam bentuk apa pun kepada orang tua/wali murid. Makin yakinlah masyarakat bahwa memang benar orang tua murid tugasnya beranak dan urusan sekolah anak itu kewajiban pemerintahlah yang 100% membiayainya.
Permasalahannya adalah benarkah pemerintah menyediakan dana untuk membiayai sekolah-sekolah kita memenuhi delapan standar nasional pendidikan itu. Benarkah pemerintah telah membuat target bahwa pada akhir masa jabatan seseorang, semua sekolah di wilayahnya berstatus akreditasi A? Benarkah ada anggaran yang secara sistematis bisa digunakan menaikkan peringkat delapan standar pendidikan sebagaimana ditentukan dalam PP 19/2005 dan Permen pendukungnya untuk semua sekolah yang ada di wilayahnya?
Kenyataan yang ada, “gratis” versi pemerintah adalah pemerintah menganggarkan dana bantuan operasional sekolah (BOS) sebagai pengganti sumbangan pembinaan pendidikan (SPP). Orang tua/wali murid tidak lagi dipungut biaya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP). Pemilihan istilah “sekolah gratis” sangat menyesatkan masyarakat lebih-lebih bila diikuti dengan surat edaran bahwa sekolah dilarang mengadakan pungutan dalam bentuk apa pun. Bukankah sebelum ada kebijakan “sekolah gratis”, siswa kita membayar SPP dan iuran lain yang disepakati untuk memajukan sekolahnya.
Strategi Pemenuhan Butir-butir Akreditasi
Di tengah kebijakan sekolah gratis, sekolah memang dihadapkan pada posisi sulit. Satu sisi, sekolah harus patuh kepada pemerintah berkenaan dengan kebijakan-kebijakannya termasuk kebijakan sekolah gratis. Di sisi lain, sekolah harus mampu memenuhi delapan standar nasional pendidikan sebagaimana tercermin dalam butir-butir akreditasi agar menjadi sekolah standar nasional atau bahkan sekolah bertaraf internasional. Pemenuhan butir akreditasi tidak bisa diserahkan sendirian kepada pihak sekolah. Semua pihak harus terlibat dalam memenuhi butir akreditasi tersebut. Semua pihak yang dimaksud terutama adalah (1) pihak sekolah, (2) pihak pemerintah, dan (3) pihak orang tua murid.
Pihak sekolah dalam memenuhi butir-butir akreditasi, baik dalam rangka mencapai maupun mempertahankan peringkat akreditasi, disarankan menyusun rencana pengembangan sekolah (RPS). RPS yang dihasilkan meliputi RPS jangka panjang (periode 20 tahun), RPS jangka menengah atau rencana strategis (periode 5 tahun), dan RPS tahunan (periode setiap tahun). Prof. Slamet PH. MA, MEd, MA, MLHR, Ph.D. menyatakan bahwa tahap-tahap penyusun RPS meliputi:
1)  Melakukan analisis lingkungan strategis sekolah;
2)  Melakukan analisis situasi untuk mengetahui status situasi pendidikan sekolah saat ini;
3)  Memformulasikan pendidikan yang di-harapkan di masa mendatang;
4)  Mencari kesenjangan antara butir 2 & 3;
5)  Menyusun rencana strategis;
6)  Menyusun rencana tahunan;
7)  Melaksanakan rencana tahunan;
8)  Memonitor dan mengevaluasi;
Dalam bentuk gambar, tahapan penyusunan RPS disajikan sebagai berikut:

Setelah melalui tahapan sebagaimana digambarkan di atas, sampailah sekolah pada penyusunan rencana pengembangan tahunan. RPS tahunan haruslah rinci hingga menyebutkan besaran biaya dan sumber biayanya sebagaimana terlihat pada format berikut ini.
No.
Jenis Kegiatan Pengembangan Sekolah *)
Sumber Biaya
APBN
APBD
Provinsi
APBD
Kab/Kota
Dana Masyarakat












*) Jenis kegiatan yang dimaksud tidak terlepas dari upaya pemenuhan butir-butir akreditasi
Guna merealisasikan RPS, sekolah harus benar-benar dapat melaksanakan manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagaimana diamanatkan oleh PP 19/2005 pasal 49. Dalam penerapan manajemen berbasis sekolah tersebut, prinsip kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas juga harus benar-benar ditegakkan.
Pihak Pemerintah juga harus berlaku terbuka dan jujur. Jelaskan secara jujur kepada masyarakat bahwa pemerintah telah berusaha meringankan beban masyarakat dengan membebaskan pembayaran SPP dan biaya-biaya lain yang disanggupinya. Pemerintah juga harus terbuka dan jujur menyatakan bahwa pemenuhan standar-standar pendidikan sebagaimana tercermin dalam butir-butir akreditasi tidaklah mungkin ditanggung seluruhnya oleh pemerintah.
Pihak orang tua murid/komite sekolah sangatlah diperlukan partisipasinya guna mewujudkan sekolah standar nasional. Partisipasi tersebut haruslah melalui musyawarah antara sekolah dengan orang tua murid/komite sekolah. Orang tua murid yang responsif dan berkeinginan anaknya belajar di sekolah yang memenuhi standar-standar pendidikan pastilah akan memberikan dukungan positif, bersedia membayar iuran sesuai dengan kesepakatannya.  Diyakini, bila ada komunikasi yang baik, terbuka, dan jujur, kedua pihak akan bisa saling menerima. Bila hal itu yang terjadi, sekolah dapat menyelenggarakan pendidikan dengan terus meningkatkan pemenuhan standar-standar pendidikan  dan orang tua murid pun puas dengan kualitas pendidikan yang diikuti oleh anak-anaknya.
Penutup
Dengan berbekal perencanaan yang baik, terbuka, dan jujur dari pihak sekolah dan sikap pemerintah yang juga terbuka dan jujur dengan kebijakan-kebijakannya, maka partisipasi masyarakat akan terus mengalir guna mewujudkan sekolah yang memenuhi standar-standar nasional sebagaimana tercermin dalam butir-butir akreditasi sekolah.
[Drs. Maryono, M.Pd adalah Dosen/Lektor Kepala FKIP Universitas Jambi dan Anggota Badan Akreditasi Provinsi Sekolah/Madrasah (BAP-S/M) Provinsi Jambi]