Entri Populer

Selasa, 11 Januari 2011

Sekolah Gartis Melemahkan Generasi Bangsa


SEKOLAH GRATIS MELEMAHKAN GENERASI BANGSA
Oleh: Maryono

Penerimaan siswa baru (PSB) sudah usai. Siswa yang diterima di sekolah yang dituju merasa gembira, siswa yang tidak diterima berusaha mencari sekolah lain sesuai dengan pilihan hatinya. Pendaftaran ulang pun dilakukan untuk siswa-siswa yang diterima. Besaran biaya sekolah pun disampaikan kepada orang tua atau wali murid yang diundang hadir di sekolah.
Berkenaan dengan biaya sekolah, banyak orang tua atau wali murid mengeluh. Dana yang dipungut terlalu besar, katanya. Sementara itu ada janji pendidikan gratis, tetapi mengapa sekolah masih memungut dana, apalagi dana yang dipungut tidak sedikit.
Tulisan ini mencoba menjembatani silang pendapat antara sekolah dan orang tua murid berkaitan dengan biaya yang dibayar. Silang pendapat itu terjadi karena sekolah dituntut menyelenggarakan pendidikan yang bermutu, sedangkan orang tua murid/masyarakat memiliki kemampuan ekonomi yang beragam. Dengan tulisan ini diharapkan penyelenggaraan pendidikan bermutu bisa dilakukan dan terus ditingkatkan di tengah-tengah masyarakat yang kemampuan ekonominya beragam.  Di sisi lain, pemerintah terkesan “malu-malu, tapi mau” berkenaan dengan biaya yang dipungut sekolah karena pemerintah telanjur menjanjikan pendidikan gratis melalui kampanyenya saat pemilihan umum.
Pendidikan Bermutu
Tanggal 16 Mei 2005 diterbitkan peraturan pemerintah (PP) nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Dengan PP 19/2005 itu, semua sekolah di Indonesia diarahkan dapat menyelenggarakan pendidikan yang memenuhi standar nasional. Lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi (a). standar isi; (b). standar proses; (c). standar kompetensi lulusan; (d). standar pendidik dan tenaga kependidikan; (e). standar sarana dan prasarana; (f). standar pengelolaan; (g). standar pembiayaan; dan (h). standar penilaian pendidikan. PP 19/2005 itu dilengkapi dengan berbagai peraturan menteri yang memberi jabaran lebih lanjut tentang delapan standar tersebut.
Pendidikan standar wajib dilakukan oleh sekolah. Delapan standar tersebut setahap demi setahap harus bisa dipenuhi oleh sekolah. Secara berkala sekolah pun diukur pelaksanaan delapan standar itu melalui akreditasi sekolah. Melalui proses akreditasi itu, sekolah akan berlabel terakreditasi A, B, atau C. Sekolah yang terakreditasi A adalah sekolah yang mendapatkan skor 86 atau lebih. Sekolah yang belum memperoleh akreditasi A harus terus berusaha meningkatkan standar pendidikannya agar memperoleh akreditasi A. Sekolah yang terakreditasi A akan mendapat kepercayaan masyarakat karena akreditasi A adalah cerminan sekolah yang bermutu. Sebaliknya, sekolah yang tidak terakreditasi, pada saatnya nanti akan mendapat sanksi tidak boleh melaksanakan ujian; siswa di sekolah yang tidak terakreditasi harus menumpang ujian di sekolah yang terakreditasi.
Memperhatikan tuntutan sekolah bermutu itu, sekolah harus bekerja keras untuk memenuhi standar pendidikan yang nantinya tercermin dari status akreditasinya. Sekolah yang telah terakreditasi A pun harus terus mempertahankan delapan standarnya agar tidak turun status akreditasi. Bahkan banyak sekolah yang terakreditasi A berkeinginan meningkatkan status sekolahnya menjadi rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) atau bahkan sekolah bertaraf internasional (SBI).
Memenuhi standar pendidikan bukannya tidak memerlukan biaya. Sekolah menengah atas (SMA) yang memenuhi standar akan memiliki sarana dan prasarana sebagai berikut: luas tanah, mutu bangunan, mutu listrik, ruang kelas, ruang perpustakaan, laboratorium biologi, laboratorium fisika, laboratorium kimia, laboratorium komputer, laboratorium bahasa, ruang pimpinan, ruang guru, ruang tata usaha, tempat beribadah, ruang bimbingan, ruang UKS, ruang organisasi kesiswaan, jamban, gudang, ruang sirkulasi, dan tempat bermain/olahraga. Dengan demikian, menyelenggarakan pendidikan tidak cukup hanya memiliki ruang empat dinding. Banyak hal lain yang harus dipenuhi sebagaimana dituntut dalam standar sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana pun harus bermutu, bersih, sehat, dan menarik. Belum lagi kebutuhan sarana mengakses internet yang mampu menjadikan pembelajaran menarik, bervariasi, dan kaya akan informasi. Terbukti, saat ini sudah banyak sekolah yang memiliki pemancar internet sendiri untuk kepentingkan belajar murid-muridnya. Melengkapi sarana dan prasara sekolah, standar minimal sekali pun, pastilah memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Standar proses yang harus dipenuhi oleh sekolah agar menjadi sekolah standar meliputi silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, satu rombongan belajar maksimal 32 orang (untuk SMA), satu buku teks per siswa, langkah pembelajaran benar, pemantauan, supervisi, dan evaluasi proses oleh kepala sekolah, kepala sekolah melaporkan hasil pengamatannya. Hal-hal yang diperlukan dalam pemenuhan standar proses tidak cukup hanya mewajibkan guru membuat ini membuat itu. Lebih-lebih bila kompetensi guru tidak merata untuk menyusun perangkat-perangkat pembelajaran itu. Hal itu berarti dibutuhkan forum untuk meningkatkan kompetensi guru yang juga memerlukan biaya untuk melakukan itu. Insentif tambahan bagi guru dan kepala sekolah juga penting agar mereka lebih serius dan konsentrasi dalam melengkapi perangkat pembelajarannya. Dengan perangkat pembelajaran yang lengkap dan bermutu diharapkan  proses pembelajaran akan lebih bermutu karena pelaksananya sejahtera.
Uraian dua standar di atas hanyalah sekedar contoh bagaimana seharusnya sekolah memenuhi standar pendidikan nasional. Enam standar yang lain tidak boleh ada yang diabaikan. Keenamnya harus  dipenuhi. Untuk memenuhinya diperlukan kompetensi yang cukup, biaya yang cukup, juga tambahan kesejahteraan bagi para pelaksananya. Dengan kata lain, melaksanakan pendidikan yang bermutu memang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Semua pihak yang berkepentingan dengan pendidikan bermutu haruslah mengupayakan agar biaya untuk melakukan hal itu tersedia.
Sekolah Gratis
Kata “gratis” dalam istilah “sekolah gratis” memiliki pemahaman yang beragam. Versi sebagian masyarakat, sekolah gratis berarti orang tua hanya mengantarkan anaknya ke sekolah dan sekolah tidak memungut satu rupiah pun dari dirinya untuk keperluan pendidikan anaknya itu. Sebagian masyarakat yang terhipnotis dengan janji-janji politik saat kampanye benar-benar meyakini bahwa sekolah gratis bermakna seperti itu. Pemahaman itu makin mendapat pembenarannya dengan beredarnya pernyataan lebih lagi surat dari pejabat berwenang yang meminta sekolah tidak boleh mengadakan pungutan dalam bentuk apa pun kepada orang tua/wali murid. Makin yakinlah masyarakat bahwa memang benar orang tua murid tugasnya beranak dan urusan sekolah anak itu kewajiban pemerintahlah yang 100% membiayainya.
Permasalahannya adalah benarkah pemerintah menyediakan dana untuk membiayai sekolah-sekolah kita memenuhi delapan standar nasional pendidikan itu. Benarkan pemerintah telah membuat target bahwa pada akhir masa jabatannya semua sekolah di wilayahnya berstatus akreditasi A. Benarkan ada anggaran yang secara sistematis bisa digunakan menaikkan peringkat delapan standar pendidikan sebagaimana ditentukan dalam PP 19/2005 dan Permen pendukungnya untuk semua sekolah yang ada di wilayahnya.
Kenyataan yang ada, “gratis” versi pemerintah adalah orang tua/wali murid tidak lagi dipungut biaya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP). Biaya SPP itu dianggarkan pemerintah melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Berkenaan dengan hal ini, pemerintah seharusnya jujur kepada masyarakat bahwa orang tua murid tidak perlu lagi membayar SPP karena sudah ada dana BOS. Pemilihan istilah “sekolah gratis” sangat menyesatkan masyarakat lebih-lebih bila diikuti dengan surat edaran bahwa sekolah dilarang mengadakan pungutan dalam bentuk apa pun. Bukankah sebelum ada program “sekolah gratis”, siswa kita membayar SPP dan iuran lain yang disepakati untuk memajukan sekolahnya.
Program sekolah gratis bila konsepnya adalah tidak ada iuran apa pun dari orang tua/wali murid, program itu akan menjadikan sekolah kita berjalan di tempat bahkan bisa mundur dari kondisi yang ada sekarang. Sekolah (kepala sekolah dan komite sekolah) tidak berani berkreasi untuk memajukan sekolahnya memenuhi standar-standar pendidikan dengan menggali potensi yang dimiliki orang tua siswa. Berkreasi berarti berlawanan dengan (sebagian) masyarakat dan pemerintah yang notabene adalah atasan dari sekolah itu. Bila kondisi ini terus terjadi, pendidikan kita bukannya meningkat mutunya, malah sebaliknya, akan makin merosot mutunya. Generasi bangsa kita bukannya makin maju, makin tangguh bersaing dengan bangsa lain. Generasi bangsa akan makin lemah. Apakah kondisi itu yang kita inginkan?
Apa solusinya?
Untuk mengatasi silang pendapat tentang sekolah gratis dan biaya pendidikan, sudah waktunya semua pihak mengedepankan keterbukaan dan kejujuran. Pemerintah sebagai penengah antara sekolah dan orang tua murid/masyarakat, harus memulai keterbukaan dan kejujuran ini. Jelaskan secara jujur kepada masyarakat bahwa pemerintah berusaha meringankan beban masyarakat dengan menanggulangi biaya SPP, tetapi pemerintah belum sanggup membiayai 100% biaya sekolah untuk memenuhi standar-standar pendidikan. Biaya pendidikan di luar SPP yang berguna untuk meningkatkan standar-standar pendidikan haruslah dimusyawarahkan antara sekolah dengan orang tua murid/masyarakat. Orang tua murid yang responsif dan berkeinginan anaknya belajar di sekolah yang memenuhi standar-standar pendidikan pastilah akan memberikan dukungan positif, bersedia membayar iuran sesuai dengan kesepakatannya.
Sekolah bersama komite sekolah perlu meningkatkan komunikasi dengan orang tua murid/masyarakat tentang pentingnya meningkatkan standar-standar pendidikan sehingga mutu pendidikan sekolah itu makin baik. Perlu juga diperhatikan kemampuan yang beragam dari orang tua murid. Hal itu berarti perlu ada subsidi silang di antara mereka. Setelah ada kesepakatan antara sekolah/komite sekolah dengan orang tua murid, menjadi kewajiban sekolah/komite sekolah untuk menyampaikan pertanggungjawaban penggunaan dana iuran orang tua murid itu. Diyakini, bila ada komunikasi yang baik, terbuka, dan jujur, kedua pihak akan bisa saling menerima. Bila hal itu yang terjadi, sekolah dapat menyelenggarakan pendidikan dengan terus meningkatkan pemenuhan standar-standar pendidikan (bila perlu melebihi standar yang telah ditentukan) dan orang tua murid pun puas dengan kualitas pendidikan yang diikuti oleh anak-anaknya.
Semoga!
[Maryono adalah Dosen/Lektor Kepala FKIP Universitas Jambi dan Anggota Badan Akreditasi Provinsi Sekolah/Madrasah (BAP-S/M) Provinsi Jambi]

2 komentar:

  1. di share di fb boleh g pak? pemikiran yg mantap dan sepertinya perlu banyak orang tau!

    BalasHapus